Temukan Emas, Mayat Bayi Hingga Makan Sebelum Basi
Rabu, 19 April 2017
Temukan Emas, Mayat Bayi Hingga Makan Sebelum Basi
Pemulung di TPA Bantar Gebang. ©AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Sampah makanan, plastik, loka tidur, dan perabotan yang masih mampu dipakai sampai perhiasan emas pun pernah ditemukan para pemulung jika sedang beruntung. Bahkan tidak sporadis jua sesosok janin dan mayat bayi pun ditemukan pada tumpukan sampah. Pengalaman tadi pernah dialami oleh Rahmat (40). Dia menceritakan, malam hari saat beliau memungut sampah menemukan kardus.
Ketika dibuka kardus tadi, ternyata terdapat bayi kembar, berjenis kelamin wanita yg telah nir bernyawa. Keadaan bayi tersebut kata Rahmat kulitnya telah mengelupas. Kondisi bayi yg ditemukan Rahmat atau pemulung lain bermacam -macam. Kadang yang masih utuh dan terdapat yg sudah tidak berwujud.
Pemulung pada TPA Bantar Gebang AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Tetapi ketika ini istilah Rahmat, bila pemulung menemukan bayi atau janin supaya segera melapor ke petugas di Bantargebang. Untuk dilakukan penyelidikan, petugas kata dia sudah sanggup mencari mayat itu dari dari truk sampah berdasarkan wilayah Jakarta mana. Nanti kan sanggup dilacak juga ini bayi dari bak sampah mana, truk mana, dari kelurahan mana tempat tinggal mana sanggup ketahuan, istilah Rahmat.
Tak hanya mayat yang ditemukan para pemulung di bukit sampah. Sisa-sisa buangan tempat tinggal tangga juga mampu jadi ladang mata pencaharian para pemulung. Bahkan tumpukan sampah yang menggunung mampu jadi ladang pencarian 'harta karun' jika mereka sedang beruntung. Uang bahkan perhiasan emas pun acapkali ditemukan.
Para pemulung pun tak jarang sering bercerita pada Rahmat tak jarang mendapatkan uang dan emas. Di tengah kesusahan, terkadang para pemulung di Bantargebang sering makan residu-sisa makanan yang ditemukan dalam tumpukan sampah. Dia mengaku, selama menemukan residu kuliner dan dimakan nir pernah keracunan. Makanan yg kadaluarsa pun tak sporadis dilahapnya.
Jadi barang yg basi itu kan panas, ya balik lagi. Kalau sampah yang basi mah enggak dimakan, dirasain dulu asem apa enggak. Kan seperti salak, jeruk, istilah Rahmat sambil berseloroh.
Pemulung di TPA Bantar Gebang AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Tetapi risiko menjadi pemulung lebih berat dari pada setitik nasib beruntung. Tak sedikit pemulung yg mangkat tertimbun longsoran sampah yg menjulang bak gunung. Para pemulung juga tidak jarang terpelanting akibat terkena alat berat. Jika nir waspada, nyawa bisa jadi taruhannya. Bukan hanya alat berat yang sebagai ancaman. Barang pecah belah pun selalu menjadi ancaman berfokus mereka.
Makanya jikalau meleng risikonya nyawa. Kalau terdapat backhoe, belum terdapat sampah yang kejatuhan menurut kita. Botol, beling, risikonya, kan dari mobil ngejomplang, kan sudah ada pada atas depan buldoser eksklusif didorong. Mangkanya buldoser namanya ngedorong nggak lihat, cerita Rahmat sembari mencicipi kejadian yg menimpa teman-temannya beberapa waktu lalu.
Para pemulung juga melakoni pekerjaannya hampir 24 jam. Hingga larut malam pun terdapat yg mengorek-ngorek pada atas bukit tumpukan sampah. Menurut cerita Rahmat, mencari sampah pada Bantargebang lebih enak pada malam hari. Mereka memilih sampah sampai pukul 04.00 WIB.
Kita bawa lampu yg di kepala. Biasa berangkat jam 4-lima sore pergi pagi kadang-kadang jam 4 subuh, istilah Rahmat.
Pemulung di TPA Bantar Gebang AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Tingginya risiko kecelakaan bagi pemulung pula tidak sebanding dengan kompensasi yg diberikan. Pemulung hanya diberi pertolongan & tunjangan ala kadarnya. Pemulung hanya diberikan Rp 200 ribu bila terjadi kecelakaan di lapangan. Hingga paling parah, tewas karena terkena alat pun hanya diberikan sekedarnya saja.
Tak hanya risiko yang tinggi, upah berdasarkan bos kepada pemulung pun hanya Rp 40 ribu per hari. Menurut dia, pemulung pula wajib giat dan gesit buat mencari barang-barang bekas.
Penyakit pun tidak sporadis mereka rasakan. Mulai berdasarkan penyakit kulit sampai penyakit dalam. Berbagai penyakit silih berganti tiba. Udah biasa kena penyakit mah, aku udah bolak-kembali tempat tinggal sakit. Penyakit tipus ya begitulah. Kita kan butuh uang jadi ya tetep tinggal pada sini, kata Rahmat sambil berseloroh.
Pemulung di TPA Bantar Gebang. ©AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Sampah makanan, plastik, loka tidur, dan perabotan yang masih mampu dipakai sampai perhiasan emas pun pernah ditemukan para pemulung jika sedang beruntung. Bahkan tidak sporadis jua sesosok janin dan mayat bayi pun ditemukan pada tumpukan sampah. Pengalaman tadi pernah dialami oleh Rahmat (40). Dia menceritakan, malam hari saat beliau memungut sampah menemukan kardus.
Ketika dibuka kardus tadi, ternyata terdapat bayi kembar, berjenis kelamin wanita yg telah nir bernyawa. Keadaan bayi tersebut kata Rahmat kulitnya telah mengelupas. Kondisi bayi yg ditemukan Rahmat atau pemulung lain bermacam -macam. Kadang yang masih utuh dan terdapat yg sudah tidak berwujud.
Pemulung pada TPA Bantar Gebang AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Tetapi ketika ini istilah Rahmat, bila pemulung menemukan bayi atau janin supaya segera melapor ke petugas di Bantargebang. Untuk dilakukan penyelidikan, petugas kata dia sudah sanggup mencari mayat itu dari dari truk sampah berdasarkan wilayah Jakarta mana. Nanti kan sanggup dilacak juga ini bayi dari bak sampah mana, truk mana, dari kelurahan mana tempat tinggal mana sanggup ketahuan, istilah Rahmat.
Tak hanya mayat yang ditemukan para pemulung di bukit sampah. Sisa-sisa buangan tempat tinggal tangga juga mampu jadi ladang mata pencaharian para pemulung. Bahkan tumpukan sampah yang menggunung mampu jadi ladang pencarian 'harta karun' jika mereka sedang beruntung. Uang bahkan perhiasan emas pun acapkali ditemukan.
Para pemulung pun tak jarang sering bercerita pada Rahmat tak jarang mendapatkan uang dan emas. Di tengah kesusahan, terkadang para pemulung di Bantargebang sering makan residu-sisa makanan yang ditemukan dalam tumpukan sampah. Dia mengaku, selama menemukan residu kuliner dan dimakan nir pernah keracunan. Makanan yg kadaluarsa pun tak sporadis dilahapnya.
Jadi barang yg basi itu kan panas, ya balik lagi. Kalau sampah yang basi mah enggak dimakan, dirasain dulu asem apa enggak. Kan seperti salak, jeruk, istilah Rahmat sambil berseloroh.
Pemulung di TPA Bantar Gebang AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Tetapi risiko menjadi pemulung lebih berat dari pada setitik nasib beruntung. Tak sedikit pemulung yg mangkat tertimbun longsoran sampah yg menjulang bak gunung. Para pemulung juga tidak jarang terpelanting akibat terkena alat berat. Jika nir waspada, nyawa bisa jadi taruhannya. Bukan hanya alat berat yang sebagai ancaman. Barang pecah belah pun selalu menjadi ancaman berfokus mereka.
Makanya jikalau meleng risikonya nyawa. Kalau terdapat backhoe, belum terdapat sampah yang kejatuhan menurut kita. Botol, beling, risikonya, kan dari mobil ngejomplang, kan sudah ada pada atas depan buldoser eksklusif didorong. Mangkanya buldoser namanya ngedorong nggak lihat, cerita Rahmat sembari mencicipi kejadian yg menimpa teman-temannya beberapa waktu lalu.
Para pemulung juga melakoni pekerjaannya hampir 24 jam. Hingga larut malam pun terdapat yg mengorek-ngorek pada atas bukit tumpukan sampah. Menurut cerita Rahmat, mencari sampah pada Bantargebang lebih enak pada malam hari. Mereka memilih sampah sampai pukul 04.00 WIB.
Kita bawa lampu yg di kepala. Biasa berangkat jam 4-lima sore pergi pagi kadang-kadang jam 4 subuh, istilah Rahmat.
Pemulung di TPA Bantar Gebang AFP PHOTO/Bay Ismoyo
Tingginya risiko kecelakaan bagi pemulung pula tidak sebanding dengan kompensasi yg diberikan. Pemulung hanya diberi pertolongan & tunjangan ala kadarnya. Pemulung hanya diberikan Rp 200 ribu bila terjadi kecelakaan di lapangan. Hingga paling parah, tewas karena terkena alat pun hanya diberikan sekedarnya saja.
Tak hanya risiko yang tinggi, upah berdasarkan bos kepada pemulung pun hanya Rp 40 ribu per hari. Menurut dia, pemulung pula wajib giat dan gesit buat mencari barang-barang bekas.
Penyakit pun tidak sporadis mereka rasakan. Mulai berdasarkan penyakit kulit sampai penyakit dalam. Berbagai penyakit silih berganti tiba. Udah biasa kena penyakit mah, aku udah bolak-kembali tempat tinggal sakit. Penyakit tipus ya begitulah. Kita kan butuh uang jadi ya tetep tinggal pada sini, kata Rahmat sambil berseloroh.
HALAMAN SELANJUTNYA: